Minggu, 14 Maret 2010

Asal-Usul Kota Samarinda

Harus tanya orang tua-tua, setingkat kakek nenek untuk dapat cerita-cerita gini. Aku pernah dapat cerita mengenai asal-usul adanya nama Loa Janan, Loa Kulu, Loa Tebu, dll. Menurut pemahaman nalarku sih Loa = sungai, sama halnya di Jawa Barat Ci = sungai.

Nah yang cerita ke saya ini memang sudah seusia kakek-kakek, katanya nama-nama itu menghormati keluarga Lo yang kalau tidak salah 4 generasi sebelumnya adalah sahabat bermain Sultan Kutai Kartanegara. Dari bermain itu si Lo generasi pertama ini dapat konsesi batu bara oleh Sultan Kutai, lokasi konsesi itu diberi nama Loa dan nama tambahan. Nama-nama itu bertahan sampai sekarang.

OK saya masih tidak terlalu percaya cerita itu, tapi bahwa keluarga Lo cukup disegani oleh orang tua-tua keluarga Sultan Kutai rasanya benar. Beberapa tahun lalu saya pernah sedikit mengalami musibah merobohkan tiang bendera rumah orang di daerah prefab. Ketika saya minta maaf ke penghuni rumah, malah saya diajak ngobrol akrab karena katanya keluarganya banyak berterima kasih pada keluarga Lo dimana saya bekerja waktu itu. Di rumah itu terpampang lukisan besar dan beberapa lukisan kecil Sultan Kutai dan beberapa kerabatanya. Saya menyimpulkan si empunya rumah adalah keluarga sultan.

Lo muda datang ke Samarinda sebagai bujangan dan dijodohkan oleh Sultan Kutai dengan seorang gadis Dayak dari Kalsel. Generasi kedua Lo tinggal di Samarinda dan mempunyai tanah di kawasan Pelabuhan Samarinda saat ini, mulai dari kantor KP3, klenteng sampai Jl. Mulawarman kini dan berbatas ujung di seberang SCP saat ini (dulu ada kantor Gemini Group), tanahnya sampai ke Sungai Mahakam. Belum ada Jl. Yos Sudarso waktu itu.

Generasi kedua ini melebarkan sayap usahanya sampai ke Balikpapan. Pada generasi kedua ini mereka menderita karena penjajahan Jepang. Satu lokasi usaha di Balikpapan dijadikan basis pejuang, berupa sebuah gedung bioskop yang kini berubah menjadi sebuah kantor kecamatan di Balikpapan.

Setelah penjajahan Jepang dan masuk era kemerdekaan, generasi kedua yang telah melahirkan generasi ketiga keluarga Lo ini mulai terpisah-pisah usahanya. Satu garis keturunan menguasai mayoritas warisan keluarga. Lo pertama meninggal dan dimakamkan di pekuburan di Solong. Generasi ketiga melebarkan sayap usaha ke Kalsel dan Kalteng, juga Surabaya. Sebagian generasi ketiga mengalami masa sulit tahun 1965 dan ada yang pindah ke RRC lalu Hong Kong, ada juga yang ke U.S.A. Sementara tanah di dekat sungai Mahakam dihibahkan ke berbagai kalangan. Ada yang jadi gereja, ada yang jadi klenteng, ada yang jadi Jl.Yos Sudarso dan pelabuhan saat ini. Ada yang tetap dikuasai dan menjadi tempat tinggal para buruh tambang yang didatangkan dari Sulawesi dan Maluku pada masa penjajahan Belanda. Ada yang ditinggali keluarga-keluarga Tionghwa lainnya yang datang atas ajakan generasi pertama. Sebagian orang-orang tua ini masih mengenang sejarah kenapa mereka bisa sampai di Samarinda, generasi mudanya sudah tidak.

Kini generasi ketiga dan keempat sudah tersebar luas, sebagian tetap di usaha lama. Sebagian usaha baru dan umumnya mereka aktif di organisasi kemasyarakatan. Keluarga ini sangat membaur dalam arti sesungguhnya. Ada yang menikah dengan orang Jawa, orang Dayak, dll. Agama yang dianut juga macam-macam.

Sebagian kisah ini pernah dimuat di Kaltim Post secara berseri pada waktu masih bernama Manuntung. Waktu itu kalau tidak salah judulnya terkait dengan besarnya Samarinda sebagai kota dagang atas jasa 4 keluarga besar keturunan Tionghwa. Kalau tidak salah semuanya tinggal di dekat sungai Mahakam semua, satu keluarga tinggal di blok yang berbatasan dengan tanah keluarga Lo sampai ke arah Citra Niaga. Lainnya saya kurang tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar