Minggu, 14 Maret 2010

Asal-usul Samarinda 2

Asal Usul Kota Samarinda Bagian (2)
Time Traveller Wed, 19 May 2004 09:13:00 WIB

Peristiwa maut itu bukan hanya berita berkabung bagi rakyat dan kalangan istana Bone tetapi juga peristiwa yang dianggap suatu penghinaan dan tantangan bagi Kerajaan Bone.

Bone menuntut agar La Ma'dukelleng putra Arung Paneki bangsawan Wajo, penikam Matolla putra Bone diserahkan ke Kerajaan Bone untuk diadili. Bila Wajo menolak, Wajo akan dihancurkan.

Pada hari dan waktu baik yang sudah ditetapkan La Ma'dukelleng bersama tiga putranya yaitu Petta To Sibengarang, Petta To Rame, dan Petta To Siangka serta delapan bangsawan Wajo, dan 200 pengikut dilengkapi 14 buah perahu layar meninggalkan Wajo menuju tanah Kutai.

Di tengah perjalanan mereka kehabisan bekal, terutama air tawar. Oleh karena itu, mereka berlabuh di Pasir dan selanjutnya menetap di sana.

Kira-kira satu bulan mereka menetap di Pasir, datang lagi orang-orang Wajo dan Soppeng. Jumlah mereka jauh lebih besar. Mereka membawa labar bahwa Wajo sudah dikuasai Bone. Rombongan itu dipimpin Lamohang Daeng Mangkona.

Atas kemurahan hati sang raja, permintaan Lamohang Daeng Mangkona dikabulkan. Ia diberi tempat di daratan rendah di tepi kiri Sungai Mahakam yang sekarang terkenal dengan nama Samarinda Seberang. Ia juga diakui oleh sultan sebagai kepala pemerintahan di daerahnya dengan gelar Poa Adi.

Lamohang Daeng Mangkona mulai membangun daerah baru itu dengan bantuan seluruh pengikutnya. Hutan belantara ditebas dan kayu-kayu besar ditebang. Setelah lahan terbuka dan pohon-pohon kering dibakar terbukalah daerah persawahan yang luas di tanah datar dan rendah tanpa bukit-bukit. Air tadah juhan menggenangi lahan yang pada saatnya ditanami bibit padi sawah.

Rumah-rumah didirikan di tepi Sungai Mahakam, membujur dari hilir ke hulu. Setiap keluarga mendirikan tumah tinggal yang dikerjakan secara gotong-royong. Dengan sistem gotong-royong semua pekerjaan dapat dilaksanakan dengan baik.

Suku Bugis Sulawesi Selatan terkenal sebagai penganut agama Islam yang setia dan fanatik. Kebudayaan Islam dengan cepat berkembang seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Masyarakat pendatang merasa betah dan aman tinggal di daerah baru karena secara geografis dan iklim serta kesuburan tanah pertanian tidak berbeda dengan daerah asal mereka.

Suku Bugis hidup dengan memegang teguh prinsip sempungugi (kesetiakawanan kesukuan) dan sempulolo (kekerabatan). Filsafat tiga ujung, yaitu ujung lidah, ujung badik, dan zakar tetap dianut dan dipegang teguh secara turun-temurun.

Demikianlah, daerah baru itu berkembang pesat. Mereka menyebut daerah itu Samarinda. Kata ini berasald ari kata "Samarendah". Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.

Penduduk menerima bagian lahan yang sama-sama rendah sehingga wilayah itu dinamakan "sama rendah". Akhirnya daerah itu disebut Samarinda. Penduduk Samarinda setiap tahun bertambah karena orang-orang Wajo berdatangan dan menetap di sana.

Berhadapan dengan daerah pemukiman baru ini, di tepi kanan Sungai Mahakam berkembang pula pemukiman di sekitar sungai Karang Mumus dan Karang Asam. Pemukiman ini dibangun para petani dan nelayan suku Kutai dan suku Banjar, pendatang dari Kalimantan Selatan.

Sejak kedatangan bangsa Belanda yang memerintah di Indonesia sebagai penjajah, daerah ini dibangun menjadi pusat pemerintahan di Kalimantan Timur, wilayah antara Karang Mumus dan Karang Asam.

Kota Samarinda diperluas menjadi kota maju yang akhirnya dibentuk sebagai daerah Tingkat II Samarinda. Pada masa Kerajaan Kutai, Samarinda berstatus sebagai kotapraja berdasarkan Undang-Undang Darurat No. 3 tahun 1953.

Status Kotamadya Samarinda diperkuat oleh Lembaran 1953 No. 97 dan Lembaran 1059 No. 27 yang disahkan tanggal 21 Januari 1960, sama dengan berlakunya sistem pemerintahan swapraja.

Hari lahir kota Samarinda ditetapkan tanggal 21 Januari 1665, yaitu tanggal kedatangan Lamohang Daeng Mangkona yang mula-mula membangun kota ini (Samarinda Seberang sekarang).

Kota Samarinda sekarang menjadi ibu kota Propinsi Kalimantan Timur. Kota ini merupakan pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat perdagangan. Samarinda meliputi 3 kecamatan yaitu Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan Samarinda Ulu dan Kecamatan Samarinda Seberang (rintisan kota Samarinda).

Sumber: SuaraMerdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar