Minggu, 14 Maret 2010

Asal-usul Samarinda 1

Asal Usul Kota Samarinda (1)
Time Traveller Wed, 19 May 2004 09:07:00 WIB

Sungai Mahakam yang konon berasal dari nama Mahakam merupakan sungai terbesar di Pulau Kalimantan. Sungai yang membelah Propinsi Kalimantan Timur dari barat ke timur ini mempunyai sejarah gemilang pada masa lampau.

Kerajaan Kutai sampai sekarang masih tetap dikenang dari peninggalan-peninggalan sejarahnya. Misalnya situs bekas pusat Kerajaan Kutai Ing Martadipura dari istana Sultan Kutai Kartanegara yang kini menjadi gedung museum Propinsi Kalimantan Timur.

Kerajaan Kutai Ing Martadipura berdiri pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-17 Masehi dan berpusat di Muara Kaman, Kabupaten Kutai. Kerajaan Kutai Kartanegara yang berdiri tahun 1300 sampai dengan tahun 1959 mengalami dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tahun 1735-1959 tidak disebutkan dalam cerita. Tahun 1300-1734 berpusat di Kutai Lama atau Tepian Batu. Raja pertama bernama Batara Agung Dewa Sakti dan permaisurinya bernama Putri Karang Melenu.

Pada waktu itu, wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara meliputi daerah yang luas, mulai daerah pantai, daerah kiri kanan Sungai Mahakam, sampai batas wilayah Muara Kaman ke udik. Daerah itu merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Kutai Ing Martadipura sampai masa runtuh kerajaan itu pada abad ke-17.

Wilayah Samarinda termasuk pula ke dalam wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara. Akan tetapi saat itu, belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota. Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan sungai Karang Asam.

Berdirinya kota Samarinda tidak terlepas dari hijrah orang-orang Bugis Wajo, Sulawesi Selatan. Mereka lah yang membangun Samarinda. Menurut lontara atau silsilah kedatangan suku Bugis menyebar ke seluruh Nusantara bermula pada tahun 1668.

Penyebaran itu terjadi karena kerusuhan di Kerajaan Bone Sulawesi Selatan pada tahun 1665. Ketika itu diadakan perhelatan besar pernikahan putra Goa dengan putri Bone. Kemudian terjadi perkelahian antara putra-putra Bone dan putra-putra bangsawan Wajo karena acara sabung ayam. Saat itu putra bangsawan Bone tewas tertikam keris sakti putra Wajo.

Peristiwa maut itu bukan hanya berita berkabung bagi rakyat dan kalangan istana Bone tetapi juga peristiwa yang dianggap suatu penghinaan dan tantangan bagi Kerajaan Bone.

Bone menuntut agar La Ma'dukelleng putra Arung Paneki bangsawan Wajo, penikam Matolla putra Bone diserahkan ke Kerajaan Bone untuk diadili. Bila Wajo menolak, Wajo akan dihancurkan.

Pada hari dan waktu baik yang sudah ditetapkan La Ma'dukelleng bersama tiga putranya yaitu Petta To Sibengarang, Petta To Rame, dan Petta To Siangka serta delapan bangsawan Wajo, dan 200 pengikut dilengkapi 14 buah perahu layar meninggalkan Wajo menuju tanah Kutai.

Di tengah perjalanan mereka kehabisan bekal, terutama air tawar. Oleh karena itu, mereka berlabuh di Pasir dan selanjutnya menetap di sana.

Kira-kira satu bulan mereka menetap di Pasir, datang lagi orang-orang Wajo dan Soppeng. Jumlah mereka jauh lebih besar. Mereka membawa labar bahwa Wajo sudah dikuasai Bone. Rombongan itu dipimpin Lamohang Daeng Mangkona.

Bersambung...

Sumber: SuaraMerdeka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar